Bondo Kapumbu, Si “Anak” Baru Dari Sumba

 

Pelataran kampung adat Bondo Kapumbu

Pelataran kampung adat Bondo Kapumbu

Pria-pria itu mengernyitkan dahi ketika melihat mobil yang kami tumpangi memasuki jalan setapak di depan kampung Bondo Kapumbu. Tatapan menyelidik mengikuti pergerakan mobil, seolah-olah mereka belum pernah dikunjungi oleh orang asing. Tetiba seorang pria muncul dari halaman depan kampung, berjalan menuju mobil kami dengan tangan memegang gagang parang yang terselip di pinggang, tanda siaga satu. Kami pun terdiam. Tegang. Berharap sang supir yang sedang bekerja mengendarai mobil supaya baik jalannya ini berinisiatif untuk menjelaskan maksud kedatangan kami. Akhirnya salah seorang dari kami memberanikan diri membuka jendela mobil.

“Permisi Pak, betul ini kampung Bondo Kapumbu?”

“Iya betul,” jawab sang pria, masih sambil memegang gagang parang.

“Kami mau berkunjung boleh?”

“Oh silahkan.”

Fiuh. Sang supir membelokkan mobil masuk ke pelataran kampung. Kami pun turun, dan kemudian dibawa masuk ke dalam kampung menuju salah satu rumah. Rumah tradisional khas Sumba, menggunakan bambu sebagai alas dan alang-alang sebagai atap. Serombongan orang menyambut kami di rumah tersebut. “Halo.” Salah satu warga menyapa kami. Badannya kurus, dengan tinggi rata-rata ukuran orang Indonesia dan kulit berwarna gelap. Melihat dari perawakannya, kami kira umurnya tidak berbeda jauh dengan kami. Namanya Alex, yang belakangan kami ketahui ternyata adalah seorang guru SD di salah satu sekolah di kabupaten Sumba Barat Daya.

Setelah dipersilahkan, kami duduk di teras rumah tersebut. “Selamat datang di kampung Bondo Kapumbu,” kata Pak Alex mengawali obrolan kami. Pak Alex menanyakan dari mana kami mengetahui kampung ini. Kami menjelaskan bahwa kami datang berkunjung dari Jakarta dan mengetahui kampung ini dari penjaga resort tempat kami menginap. Ternyata, kampung adat Bondo Kapumbu ini baru akan dijadikan kampung wisata oleh pemerintah setempat setelah pertengahan tahun 2014. Pantas saja namanya belum se-terkenal kampung adat Ratenggaro ataupun kampung adat Tarung yang biasa masuk itinerary traveling di Sumba. Kami pun mengobrol sambil sesekali melihat suasana kampung. Terlihat banyak kuburan batu yang tersebar di halaman kampung ini. Memang kuburan batu ini adalah salah satu budaya warisan leluhur yang masih mereka pertahankan hingga sekarang.

Kuburan batu di halaman tengah kampung

Kuburan batu di halaman tengah kampung

Tak lama kemudian, seorang wanita keluar dari dalam rumah membawa piring kecil yang terbuat dari kayu. Piring itu berisi buah pinang, buah sirih dan kapur. Pak Alex menjelaskan, sudah menjadi adat istiadat di Sumba untuk menyuguhkan tamu yang berkunjung dengan pinang, sirih dan kapur, meskipun tamu itu sesama warga di kampung yang sama. Pak Alex pun mempersilahkan kami untuk menyantap “kudapan” itu. Akhirnya teman saya yang paling penuh rasa ingin tahu, Gita, mencobanya. Daging buah pinang, sirih, dan kapur dikunyah bersamaan. Lama kelamaan, gigi Gita mulai berwarna merah. Entah reaksi kimia apa yang terjadi antara ketiga benda itu. Semakin lama dikunyah, semakin merah gigi dan mulut Gita. “Biasanya akan terasa pusing bagi yang pertama kali coba,” kata ibu yang membawa piring tadi.

Ki-ka: kapur, sirih, pinang

Ki-ka: kapur, sirih, pinang

Gigi Gita yang mulai memerah, matching sama topi dan kuteks

Gigi Gita yang mulai memerah, matching sama topi dan kuteks

Sembari Gita mengunyah, kami melanjutkan obrolan kami. Pak Alex menjelaskan bahwa sebagian warga kampung Bondo Kapumbu masih menganut agama Marapu, sedangkan sebagian lainnya sudah menganut agama Nasrani. Pak Alex pun menjelaskan sekilas tentang Marapu. Sama seperti agama lainnya, penganut agama Marapu juga percaya dengan adanya Tuhan. Namun, mereka memiliki cara yang berbeda dalam “berkomunikasi” dengan Tuhan. Setiap kali berdoa atau melakukan ritual, penganut Marapu menggunakan hewan kurban seperti ayam dan babi. Mereka menyembelih hewan kurban itu, kemudian melihat isi perutnya, kalau ayam yang dilihat tali perutnya, kalau babi yang dilihat hatinya. Lalu mereka “membaca” apa yang “tersurat” dari tali perut ayam atau hati babi tersebut. Apa yang ditafsirkan itulah “jawaban” dari Tuhan atas apa yang mereka minta saat berdoa. Tidak sembarang orang yang bisa membaca dan menafsirkan tali perut ayam dan hati babi saat ritual. Pak Alex sendiri pun mengakui hingga saat ini belum bisa dan masih mencoba belajar.

Pak Alex lanjut menjelaskan struktur rumah adat Sumba. Rumah adat Sumba berbentuk seperti rumah panggung, mirip dengan beberapa jenis rumah adat daerah lainnya di Indonesia, misalnya Toraja. Alas dan pondasi rumah terbuat dari bambu. Bagian bawah rumah berfungsi sebagai kandang hewan ternak si pemilik rumah, bagian tengah merupakan area tempat tinggal, sedangkan bagian atas berfungsi sebagai area penyimpanan. Umumnya yang disimpan di bagian atas adalah benda-benda keramat yang terkadang digunakan dalam upacara adat tertentu dan juga bahan makanan hasil panen.

Hasil panen disimpan di bagian atas rumah

Hasil panen disimpan di bagian atas rumah

Kandang ternak di bagian bawah rumah

Kandang ternak di bagian bawah rumah

Saat Pak Alex menjelaskan struktur rumah Sumba, tetiba Gita mengeluh. Benar kata si ibu, Gita mulai merasa pusing, mengeluarkan keringat dingin dan sulit berkonsentrasi. Atau dalam bahasa kerennya: nge-fly. “Kasih dia gula,” kata Pak Alex. Si ibu tadi pun masuk ke dalam rumah dan keluar lagi membawa gula untuk Gita.

Sementara Gita diurus oleh si ibu yang sampai kami pergi dari Bondo Kapumbu ini pun kami tidak tahu namanya, saya dan teman saya satu lagi, Bita, diajak Pak Alex masuk ke dalam rumah untuk melihat-lihat. Secara umum, area tempat tinggal terbagi menjadi ruang tengah, dapur dan ruang tidur. Ruang tengah ini juga berfungsi sebagai tempat dilakukannya ritual dalam rumah. Untuk penerangan, mereka masih menggunakan apa yang mereka sebut sebagai pelita. Kami pikir pelita adalah nama lain dari petromaks. Namun ternyata pelita ini bentuknya lebih sederhana lagi dari petromaks. Yang mereka sebut pelita ini terbuat dari sumbu kompor dan botol kecil yang berisi minyak. Sumbu kompor ini disulut dengan api jika pelita mau digunakan. Kenapa pakai pelita? Memangnya belum ada listrik? Lalu bagaimana dengan program listrik masuk desa? Sebenarnya listrik sudah masuk ke kampung ini, karena kami melihat ada lampu tertempel di salah satu tiang pondasi rumah. Namun sepertinya masih terbatas sehingga mereka masih menggunakan pelita. Kalau program listrik masuk desa, kami tidak menanyakannya. Takutnya kalau membicarakan program-program, nanti Pak Alex dikira kampanye caleg. *apa sih*

Ini dia sang pelita

Ini dia sang pelita

Saat kami melihat-lihat isi dalam rumah, Gita masuk.

“Gimana Git? Udah mendingan?” tanya Bita sambil sedikit tertawa.

“Udah sih tadi abis ngunyah gula hehehe.”

Entah apa pula reaksi antara gula dengan pinang, sirih dan kapur tadi sampai bisa memulihkan kondisi Gita.

Setelah selesai melihat-lihat dan mengobrol dalam rumah, kami pun keluar. Tentu bisa ditebak apa yang kami lakukan setelahnya. Yup, sesi foto-foto! Selain foto sendiri-sendiri yang tentunya wajib hukumnya untuk dilakukan, kami juga berfoto dengan warga Bondo Kapumbu. Di tengah sesi foto, tiba-tiba seorang bapak menyuruh saya untuk berfoto menggunakan pakaian adat mereka. Belum sempat saya menjawab, dua orang pria lainnya dengan sigap memakaikan saya kain, ikat kepala, dan tak lupa parang simbol kejantanan orang Sumba. Voila! Dalam waktu kurang dari tiga menit, saya difoto di depan rumah adat lengkap dengan gaya berpakaian layaknya pria setempat. 😎

Saya bergaya layaknya pria jantan setempat

Saya bergaya layaknya pria jantan setempat

Walaupun belum dinobatkan sebagai kampung wisata, Bondo Kapumbu sudah cukup bisa memberikan apa yang menjadi ekspektasi wisatawan ketika berkunjung ke kampung wisata. Warga yang menyambut dengan terbuka, cerita mengenai kampung dan adat istiadat yang cukup jelas. Meskipun awalnya kami disambut dengan tatapan seakan-akan kami adalah musuh dari Negara Api yang datang menyerang. 😐 Sebagai “anak” baru, Bondo Kapumbu siap menerima kunjungan Anda di Sumba! 😉

Sesi foto bersama di Bondo Kapumbu!

Sesi foto bersama di Bondo Kapumbu!

Notes:

Kampung adat Bondo Kapumbu terletak di kabupaten Sumba Barat Daya, tidak jauh dari area pusat kota Waitabula, ibukota kabupaten. Minta petunjuk orang lokal untuk ancer-ancer menuju Bondo Kapumbu karena tidak ada papan petunjuk jalan yang jelas. Biaya administrasi sebesar Rp 25.000 per orang saat kami berkunjung ke sana bulan Mei 2014. Bandara terdekat adalah Bandar Udara Tambolaka. Untuk menuju Tambolaka, kamu harus melalui Bali terlebih dahulu. Terdapat penerbangan Garuda Indonesia dan Wings Air yang melayani rute Bali – Tambolaka setiap harinya.

9 pemikiran pada “Bondo Kapumbu, Si “Anak” Baru Dari Sumba

    • Iya mas, memang kampung adat yg ini kayaknya belum begitu dikenal, soalnya kalo googling itinerary sumba yg muncul Ratenggaro, Tarung, Prai Ijing. Waerebo emang lg booming sekarang, tapi itu di Flores. Salam kenal ya mas. 😀

  1. Wah, paling suka nih perjalanan wisata yang kayak gini. Mengenal traditional culture. Asik banget kayaknya. Apalagi mereka ramah-ramah gitu. Meski awalnya serem juga sih,

  2. Ping balik: Sebuah Cerita tentang Laguna yang Tersembunyi | kaburbentar

  3. Ping balik: 5 Hari Di Tanah Sumba | kaburbentar

    • Halo, salam kenal juga.
      Hmmm saya sendiri kurang tahu kalau menginap di rumah adat kampung ini boleh atau tidak, karena waktu itu kampung ini masih baru merintis jadi kampung wisata..

  4. Salam kenal kak,,,, mau nanya nieh, misal kalau bermaksud untuk menginap di rumah tersebut, kira – kira diperbolehkan tidak ya kak? sebelumnya terima kasih

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s